Kadang kita lari terbirit birit begitu mendengar kata kejawen, pasti yang langsung terlintas dalam otak kita adalah klenik, mistis dan tahayul bahkan bisa lebih.....syirik.
Benar kah itu.....
Mungkin orang yang berpendapat seperti tersebut diatas tidak salah seratus persen. Tapi menjatuhkan syirik kepada orang orang yang memahami dan melaksanakan kejawen adalah sebuah tindakan yang salah besar. Kita mulai dengan apa tho itu kejawen, kok kita menjadi sangat alergi dengan kata kata tersebut.
Kejawen itu bukan sebuah aliran kepercayaan, kejawen juga bukan merupakan sebuah agama, akan tetapi kejawen adalah sebuah metode, cara pandang atau pemahaman terhadap sebuah kondisi dengan sudut pandang adat istiadat jawa, sehingga muncullah istilah KEJAWEN. Sebuah pola pandang, problem solving dan pemahaman terhadap suatu permasalahan sosial yang terjadi dengan menggunakan aspek dan pendekatan adat istiadat jawa.
Trus kok kita alergi, mari coba kita lihat di belahan dunia lain ketia Rene Descartes memproklamirkan 'saya berpikir maka saya hidup' adalah sebuah pendekatan suatu permasalahan dengan sudut pandang ke AKU annya yang sangat kuat. Ketika titik balik peradaban yang terjadi di belahan dunia barat mendorong setiap insan yang berpikir di dunia barat kembali kepada alam untuk menemukan penyelesaian beberapa permasalahan yang dihadapinya, pemahaman secara holistik, pemahaman gender dan pemahaman naturalistik muncul sebagai salah satu metode pendekatan penyelesaian permasalahan sosial yang terjadi akhir akhir ini.
Di belahan pulau jawa, jauh sebelum pergolakan pola pikir terjadi di belahan barat sana, telah terjadi beberapa kali akulturasi budaya yang menyebabkan lahirnya sebuah metode, pola pandang dan pendekatan yang lebih adaptable (diterima) oleh masyarakat jawa pada kala tersebut. Pemahaman yang lahir pada masa Animisme dan Dinamisme sehingga memunculkan beberapa perlambang, logo, tanda dan filosofi yang mendalam dalam menyampaikan sebuah ajaran makna dan tuntunan. Perlambang, logo dan tanda tersebut adalah sebuah komunikan yang akan disampaikan pada proses komunikasi sebuah ajaran yang diterima di masyarakat kala tersebut, sehingga inilah hasil akulturasi yang muncul.
Kehadiran bunga, kemenyan, keris (baik dapur keris, pamor keris, warangka dan lain sebagainya), perkutut (baik katuranggan maupun jenisnya), dan lain sebagainya adalah sebuah komunikan, bukan hal yang utama, akan tetapi kehadiran komunikan tersebut diharuskan ada sehingga materi komunikasi yang akan disampaikan bisa berlangsung dan sampai ke tujuan.
Seperti contoh, kembang liman, kenapa liman bukan enam atau empat, karna para wali saat itu hanya akan menyampaikan Rukun Islam, akan tetapi pada saat itu, bahasa arab adalah sesuatu yang masih dianggap sebagai bahasa antar planet alias asing. Maka untuk mempermudah penyampaiannya maka para wali dan pendakwah kala itu menyampaikan dengan perlambang kembang liman (kembang yang terdiri dari lima jenis tanaman) yaitu mawar, melati, kenanga, kantil kuning dan kantil putih.
Kenanga, dengan dasar dikenang, diingat maka pada saat itu kenanga atau kenongo adalah perlambang dua kalimat, layaknya sebuah janji yang harus dikenang diingat dan diikuti dan akan mengharumkan segala tindakan dan mewarnai setiap ibadah yang akan dilakukan. Maka bunga kenanga atau kenongo ini muncul sebagai perlambang dua kalimat syahadat.
Mawar, warna merahnya dan berulang dalam susuanannya melambangkan sholat lima waktu yang harus mendarah daging dan diulang ulang terus setiap harinya sehingga rakaat sholat haruslah tak terhitung (bila digabungkan sholat lima waktu dan sholat sunat) layaknya lembaran bunga dalam mawar yang ada.
Melati putih yang melambang kan kesucian dan kebersihan hati, dimana melambangkan puasa yang harus dijalani setiap insan beriman untuk medekatkan diri kepada sang khalik. Layaknya orang meninggal akan diiringi dengan roncean bunga melati karena melambangkan kesucian pada saat menghadap sang khalik. Itulah perlambang yang dimunculkan.
Sementara itu, kantil kuning dan kantil putih memiliki filosofi segala benda yang mengikuti, kantil atau mengikuti atau terikat, kantil kuning segala yang mengikuti dengan emas (kuning sebagai manifestasi emas) dan kantil putih (putih manifestasi baju ihrom) sehingga keduanya melambangkan zakat dan haji bilamana orang tersebut mampu. Bilamana dia memiliki harta yang melimpah maka zakat dan haji menjadi wajib bagi orang tersebut.
Itulah sekelumit contoh bagaimana sebuah ajaran kejawen dalam mengkomunikasikan sebuah ajaran yang ada saat itu, gak mungkin saat itu kita memberikan pelajaran dengan gadget atau android karna memang sebagaian besar orang pada saat itu tidak memahami ilmu berbasis binner tersebut, sehingga akulturasi yang dipakai pada saat itu merujuk pada budaya yang sudah terpatri dalam masyarakat kala itu.
Sebuah ironi ketika kita mengapresiasi Rene Descartes sebagai bapak pembaharuan pola pikir dan mengesampingkan Sunan Kalijaga sebagai arsitek akulturasi budaya-agama kala itu, sungguh ironi anak bangsa ini.
No comments:
Post a Comment